TEMAN SEJATI
Pada suatu masa dahulu, ada seorang raja yang adil dan soleh. Dia mempunyai seorang anak lelaki yang tampan, cerdas, dan berani. Sang raja menceritakan kepadanya kisah-kisah panglima dan tentaranya di medan pertempuran. Anak raja yang bernama Amir itu, sangat gembira mendengar kisah ayahnya. Si kecil Amir akan merasa marah jika sedang ayahnya bercerita, tiba-tiba ada orang yang memutuskannya.Terkadang ketika sedang asyik mendengarkan cerita ayahnya tiba-tiba pengawal masuk dan memberitahukan bahwa ada tetamu penting yang harus ditemui oleh raja. Sang raja tahu apa yang dirasakan anaknya. Maka, dia memberi nasihat kepada anaknya, “Amir, Anakku, sudah saatnya kau mencari teman sejati yang setia dalam suka dan duka. Seorang teman baik, yang akan membantumu untuk menjadi orang baik. Teman sejati yang boleh kau ajak bercinta untuk surga.”Amir tersentak mendengar kata-kata ayahnya.“Apa maksud Ayah dengan teman yang bisa diajak bercinta untuk syurga?” Amir bertanya. “Dia adalah teman sejati yang benar-benar mahu berteman denganmu, bukan kerana darjatmu, tetapi kerana kebaikan dia sendiri . Dia mencintaimu kerana Allah. Dengan itu, kau pun boleh mencintainya dengan penuh keikhlasan kerana Allah. Kekuatan cinta itu akan melahirkan kekuatan yang membawa manfaat dan kebaikan. Kekuatan cinta itu juga akan bersinar membawa engkau dan dia masuk syurga.”
“Bagaimana cara mencari teman seperti itu, Ayah?” tanya Amir.
Sang raja menjawab, “Kamu harus menguji orang yang hendak kamu jadikan teman. Ada sebuah cara menarik untuk menguji mereka. Undanglah siapapun yang kamu rasa sesuai, untuk menjadi temanmu waktu sarapan disini, di rumah kita. Jika mereka sudah sampai di sini, buatlah mereka tertunggu-tunggu waktu makanan tiba. Biarkan mereka semakin lapar. Lihatlah apa yang kemudian mereka lakukan! Itu cara yang paling senang bagimu untuk kau mengetahui sifatnya lebih dari itu.” Amir sangat gembira mendengar nasihat ayahnya. Dia pun mempraktikkan cara mencari teman sejati yang cukup aneh itu. Mula-mula, dia mengundang anak-anak para pembesar kerajaan satu persatu. Sebagian besar dari mereka marah-marah kerana makanannya tidak keluar-keluar. Bahkan, ada yang balik dengan hati yang kesal, ada yang memukul-mukul meja, ada yang melontarkan kata-kata kesat, memaki-maki kerana terlalu lama menunggu makanan.Di antara teman anak raja itu, ada seorang yang bernama Adil. Dia anak seorang menteri. Amir melihat, sepertinya Adil seorang yang baik hati dan setia. Maka, dia ingin mengujinya. Diundanglah Adil untuk makan pagi. Adil memang lebih sabar dibandingkan dengan anak-anak menteri sebelumnya. dia menunggu keluarnya hidangan dengan setia. Setelah dirasa cukup, Amir mengeluarkan sebuah piring besar berisi tiga telur rebus. Melihat itu, Adil berkata keras, “Hanya ini sarapan kita? Ini tidak cukup mengisi perutku!” Adil tidak menyentuh telur itu. Dia pergi begitu saja meninggalkan Amir sendirian. Amir terdiam. Dia tidak perlu meminta maaf kepada Adil karena meremehkan makanan yang telah dia rebus dengan kedua tangannya. Dia mengerti bahwa Adil tidak berlapang dada dan tidak sesuai untuk menjadi teman sejatinya.
Sang raja menjawab, “Kamu harus menguji orang yang hendak kamu jadikan teman. Ada sebuah cara menarik untuk menguji mereka. Undanglah siapapun yang kamu rasa sesuai, untuk menjadi temanmu waktu sarapan disini, di rumah kita. Jika mereka sudah sampai di sini, buatlah mereka tertunggu-tunggu waktu makanan tiba. Biarkan mereka semakin lapar. Lihatlah apa yang kemudian mereka lakukan! Itu cara yang paling senang bagimu untuk kau mengetahui sifatnya lebih dari itu.” Amir sangat gembira mendengar nasihat ayahnya. Dia pun mempraktikkan cara mencari teman sejati yang cukup aneh itu. Mula-mula, dia mengundang anak-anak para pembesar kerajaan satu persatu. Sebagian besar dari mereka marah-marah kerana makanannya tidak keluar-keluar. Bahkan, ada yang balik dengan hati yang kesal, ada yang memukul-mukul meja, ada yang melontarkan kata-kata kesat, memaki-maki kerana terlalu lama menunggu makanan.Di antara teman anak raja itu, ada seorang yang bernama Adil. Dia anak seorang menteri. Amir melihat, sepertinya Adil seorang yang baik hati dan setia. Maka, dia ingin mengujinya. Diundanglah Adil untuk makan pagi. Adil memang lebih sabar dibandingkan dengan anak-anak menteri sebelumnya. dia menunggu keluarnya hidangan dengan setia. Setelah dirasa cukup, Amir mengeluarkan sebuah piring besar berisi tiga telur rebus. Melihat itu, Adil berkata keras, “Hanya ini sarapan kita? Ini tidak cukup mengisi perutku!” Adil tidak menyentuh telur itu. Dia pergi begitu saja meninggalkan Amir sendirian. Amir terdiam. Dia tidak perlu meminta maaf kepada Adil karena meremehkan makanan yang telah dia rebus dengan kedua tangannya. Dia mengerti bahwa Adil tidak berlapang dada dan tidak sesuai untuk menjadi teman sejatinya.
Hari berikutnya, dia mengundang anak seorang saudagar kaya. Anak saudagar itu sangat senang mendapat undangan makan pagi dari anak raja. Tiba waktu malam, sengaja dia tidak makan dan membiarkan perutnya lapar agar paginya boleh makan sebanyak mungkin. Dia membayangkan, makanan anak raja pasti sedap dan lazat. Awal pagi, anak saudagar kaya itu telah datang menemui Amir. Seperti anak-anak sebelumnya, dia harus menunggu waktu yang lama sampai makann keluar. Akhirnya, Said membawa piring dengan tiga telur rebus di atasnya. Ini makanannya, saya ke dalam dulu mengambil minuman.” kata Amir lantas meletakkan piring itu di atas meja.Lalu, Amir masuk ke dalam. Tanpa menunggu lagi, anak saudagar itu melahap satu per satu telur itu. Tidak lama kemudian, Amir keluar membawa dua gelas air putih. Dia melihat ke meja ternyata tiga telur itu telah lenyap. Dia terkejut. “Mana telurnya?” tanya Amir kepada anak saudagar itu.
“Telah aku makan.” “Semuanya?” “Ya, habis aku lapar sekali.” kerana hal itu Amir dapat tahu bahwa anak saudagar itu juga tidak boleh dijadikan teman setia. Dia tidak setia. Tidak bisa merasakan suka dan duka bersama. Sesungguhnya, Amir juga belum makan apa-apa. Said merasa marah kepada anak-anak di sekitar istana. Mereka semua mementingkan diri sendiri. Tidak setia kawan. Mereka tidak layak dijadikan teman sejati.
Akhirnya, Amir berfikir untuk mencari teman di luar istana. Kemudian, Amir meredahi hutan, ladang, sawah, dan kampung-kampung untuk mencari seorang teman yang baik. Sampai akhirnya, di suatu hari yang cerah, dia bertemu dengan anak seorang pencari kayu api yang berpakaian sederhana. Amir mengikutinya diam-diam sampai anak itu tiba di rumahnya. Rumah dan pakaian anak itu menunjukkan bahwa dia sangat miskin. Namun, wajah dan sinar matanya memancarkan tanda kecerdasan dan kebaikan hati. Anak itu mengambil air wudhu, lalu solat dua rakaat. Amir memerhatikannya dari celah semak samun. Selesai solat, Amir datang dan menyapa, Assalamualaikum ! “Kawan, kenalkan namaku Amir. Kalau boleh tahu, nama kau siapa? Kau tadi solat apa?” “Namaku Abdullah. Tadi itu solat dhuha.”Lalu, Amir meminta anak itu agar bersedia bermain dengannya dan menjadi temannya. Namun, Abdullah menjawab, “aku rasa kita tidak sesuai menjadi teman. Kau anak seorang kaya, Sedangkan aku, anak orang miskin. Anak seorang pencari kayu api.”
Amir menyahut, “tidak baik kau mengatakan begitu. Mengapa kau membeza bezakan orang? Kita semua adalah hamba Allah. Adakah aku nampak seperti anak yang jahat sehingga kau tidak mahu berteman denganku? Mengapa tidak kita cuba berkawan dalam satu tempoh waktu dulu? nanti kau boleh menilai, adakah aku sesuai atau tidak menjadi temanmu.”
“Baiklah kalau begitu, kita berteman. Sejak hari itu, mereka bermain bersama; pergi ke hutan bersama, memancing bersama, dan berburu kancil bersama. Anak tukang kayu itu mengajarnya berenang di sungai, menggunakan panah dan memanjat pokok di hutan. Amir sangat gembira sekali berteman dengan anak yang cerdas, rendah hati, lapang dada,dan setia itu. Akhirnya, dia kembali ke istana dengan hati gembira.
“Telah aku makan.” “Semuanya?” “Ya, habis aku lapar sekali.” kerana hal itu Amir dapat tahu bahwa anak saudagar itu juga tidak boleh dijadikan teman setia. Dia tidak setia. Tidak bisa merasakan suka dan duka bersama. Sesungguhnya, Amir juga belum makan apa-apa. Said merasa marah kepada anak-anak di sekitar istana. Mereka semua mementingkan diri sendiri. Tidak setia kawan. Mereka tidak layak dijadikan teman sejati.
Akhirnya, Amir berfikir untuk mencari teman di luar istana. Kemudian, Amir meredahi hutan, ladang, sawah, dan kampung-kampung untuk mencari seorang teman yang baik. Sampai akhirnya, di suatu hari yang cerah, dia bertemu dengan anak seorang pencari kayu api yang berpakaian sederhana. Amir mengikutinya diam-diam sampai anak itu tiba di rumahnya. Rumah dan pakaian anak itu menunjukkan bahwa dia sangat miskin. Namun, wajah dan sinar matanya memancarkan tanda kecerdasan dan kebaikan hati. Anak itu mengambil air wudhu, lalu solat dua rakaat. Amir memerhatikannya dari celah semak samun. Selesai solat, Amir datang dan menyapa, Assalamualaikum ! “Kawan, kenalkan namaku Amir. Kalau boleh tahu, nama kau siapa? Kau tadi solat apa?” “Namaku Abdullah. Tadi itu solat dhuha.”Lalu, Amir meminta anak itu agar bersedia bermain dengannya dan menjadi temannya. Namun, Abdullah menjawab, “aku rasa kita tidak sesuai menjadi teman. Kau anak seorang kaya, Sedangkan aku, anak orang miskin. Anak seorang pencari kayu api.”Amir menyahut, “tidak baik kau mengatakan begitu. Mengapa kau membeza bezakan orang? Kita semua adalah hamba Allah. Adakah aku nampak seperti anak yang jahat sehingga kau tidak mahu berteman denganku? Mengapa tidak kita cuba berkawan dalam satu tempoh waktu dulu? nanti kau boleh menilai, adakah aku sesuai atau tidak menjadi temanmu.”
“Baiklah kalau begitu, kita berteman. Sejak hari itu, mereka bermain bersama; pergi ke hutan bersama, memancing bersama, dan berburu kancil bersama. Anak tukang kayu itu mengajarnya berenang di sungai, menggunakan panah dan memanjat pokok di hutan. Amir sangat gembira sekali berteman dengan anak yang cerdas, rendah hati, lapang dada,dan setia itu. Akhirnya, dia kembali ke istana dengan hati gembira.
Hari berikutnya, anak raja itu berjumpa lagi dengan teman barunya. Anak pencari kayu itu mengajaknya makan di rumahnya. Dalam hati, Amir berasa kalah, sebab sebelum dia mengundang makan, dia telah diundang makan. Di dalam rumah itu, mereka makan dengan sederhana. Sepotong roti, garam, dan air putih. Namun, Amir makan dengan sangat gelojoh. Ingin sekali rasanya dia minta tambah kalau tidak mengingat, siapa tahu anak pencari kayu ini sedang mengujinya. Oleh kerana itu, Amir merasa cukup dengan apa yang diberikan kepadanya. Selesai makan, Amir mengucapkan terima kasih dan tersenyum. Setelah itu, mereka kembali bermain. Amir banyak menemukan hal-hal baru di hutan yang tiada di dalam istana. Hari itu, Amir banyak mendapatkan pengalaman berharga.
Ketika matahari sudah hampir melabuhkan tirainya, Amir memberitahu kepada sahabatnya itu untuk pulang. Amir juga mengundangnya makan di rumahnya besok pagi. Lalu, dia memberikan secarik kertas pada temannya itu. “Pergilah ke ibukota, berikan kertas ini kepada tentera yang kau temui di sana. Dia akan mengantarkanmu ke rumahku.” kata Amir sambil tersenyum. “Insya Allah aku akan datang.” jawab anak pencari kayu itu.
Pagi keesokan harinya, anak pencari kayu itu sampai juga ke istana. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Amir adalah anak raja. Mulanya, dia ragu untuk masuk ke istana. Akan tetapi, jika teringat kebaikan dan kerendahan hati Amir selama ini, dia berani masuk juga. Amir menyambutnya dengan senyuman . Seperti anak-anak sebelumnya yang telah hadir di ruang makan itu, Amir pun menguji temannya ini. Dia membiarkannya menunggu lama sekali. Namun, anak pencari kayu bakar itu sudah terbiasa lapar. Bahkan, dia pernah tidak makan selama tiga hari. Atau, terkadang makan daun-daun mentah sahaja. Selama menunggu, dia tidak pernah memikirkan makanan sama sekali. Dia hanya berfikir, seandainya semua anak bangsawan adalah sebaik anak raja ini, tentu dunia akan tenteram. Selama ini, dia mendengar bahwa anak-anak pembesar kerajaan berperangai buruk. Namun, dia menemukan seorang anak raja yang baik.
Pagi keesokan harinya, anak pencari kayu itu sampai juga ke istana. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Amir adalah anak raja. Mulanya, dia ragu untuk masuk ke istana. Akan tetapi, jika teringat kebaikan dan kerendahan hati Amir selama ini, dia berani masuk juga. Amir menyambutnya dengan senyuman . Seperti anak-anak sebelumnya yang telah hadir di ruang makan itu, Amir pun menguji temannya ini. Dia membiarkannya menunggu lama sekali. Namun, anak pencari kayu bakar itu sudah terbiasa lapar. Bahkan, dia pernah tidak makan selama tiga hari. Atau, terkadang makan daun-daun mentah sahaja. Selama menunggu, dia tidak pernah memikirkan makanan sama sekali. Dia hanya berfikir, seandainya semua anak bangsawan adalah sebaik anak raja ini, tentu dunia akan tenteram. Selama ini, dia mendengar bahwa anak-anak pembesar kerajaan berperangai buruk. Namun, dia menemukan seorang anak raja yang baik.
Akhirnya, tiga butir telur masak pun dihidangkan. Amir mempersilakan temannya untuk memulakan makan. Anak pencari kayu bakar itu mengambil satu. Lalu, dia mengupas kulitnya perlahan-perlahan. Sementara itu, Amir mengupasnya dengan cepat, dan memulakan makan. Temannya selesai mengupas telur. Amir ingin melihat apa yang akan dilakukan temannya dengan sebutir telur itu. Anak miskin itu mengambil pisau yang ada di dekat situ. Lalu, dia membelah telur itu jadi dua yang satu dia pegang, dan yang satunya lagi, dia berikan kepada Amir. Amir menangis terharu. Lalu, Amir pun memeluk anak pencari kayu bakar itu erat-erat lantas berkata, “Engkau teman sejatiku! Engkau teman sejatiku! Engkau temanku masuk surga.”
